Friday, August 19, 2011

Sehat Itu Mahal Harganya - Coretanku Part 3

Semilir angin malam dari jendela kaca persegi kamar saya sudah berubah menjadi hembusan segar udara pagi yang bercampur embun. Langitpun sudah memerah di ufuk timur. Kokokan ayam yang bersahutan pagi itu tidak cukup untuk mebangunkan saya dari tidur pulas atau mungkin tidur yang terlalu pulas untuk orang seusia saya. Maklum lah malam hari itu aku tidur cukup larut, setelah sahur. Kesalahan, di malam yang esok hari harusnya berangkat pagi sekali ke perantauan malah terlalu asik dengan baris-baris code di layar laptop saya. Memang asik kalo sudah menemukan solusi untuk permasalahan pemrograman yang sedang dihadapi. Tidak sekali dua kali ibu saya sudah mengingatkan untuk tidur tapi ya namanya sedang asik sama sesuatu ya sekedar bilang 'iya' tapi tetap melanjutkan ngoding, hehehe, istilah itu baru saya kenal 2 tahun yang lalu tapi sekarang sudah hafal dan akrab sekali dengan istilah itu.
Baris demi baris terus terketik rapi dengan bantuan IDE canggih yang fitur autocomplete-nya yang mantap. Tak terasa, alarm sahur berbunyi baru sadar sudah selarut itu. Tidak berlama lama lagi dengan kesibukan itu saya segera menutup semua aplikasi di laptop saya termasuk lantunan ayat suci Al Qur'an dari Winamp yang menemani sepanjang malam, lalu saya matikan laptop, beres beres, siapkan perbekalan buat berangkat ke perantauan. Semua selesai, setelah sahur terpaksa tidur sebentar, lumayan lah daripada tidak sama sekali, mengingat beberapa jam setelahnya harus menempuh perjalanan sekitar 71 km dari rumah ke tempat perantauan. Ya kalo berencana tidur di perjalanan ya belum tentu bisa, karena tidak jarang dalam perjalanan yang lebih dari 70 km itu harus ditempuh dengan berdiri berdesakan dengan penumpang lain di kereta. Maklum lah, kereta ekonomi, hehe.
Ketika tersadar dari tidur, ternyata sudah hampir jam 5 pagi, segera saja saya bersih diri dan ambil air wudhu dan shalat Subuh. Sesaat kemudian berangkat ke stasiun. Benar saja, ketika sampai di stasiun suasana sudah ramai, dan sudah dipastikan sedang menunggu kereta yang sama karena di jam itu cuma ada 1 kereta, kereta yang sama yang akan mengantarkan saya ke perantauan kereta ekonomi jurusan Kertosono-Surabaya.
Tak lama waktu berselang kereta sampai di stasiun Jombang dan alhamdulillah kali ini saya tidak perlu berdiri dalam perjalanan karena masih ada tempat duduk tersisa untuk saya. Stasiun demi stasiun terlewati, kereta semkin penuh sesak, hingga sampai di suatu stasiun, Mojokerto kalo tidak salah ada seorang ibu paruh baya yang tidak lagi mendapatkan tempat duduk. Disini sisi kemanusaiaan diuji, yasudahlah saya saja yang mengalah, sepertinya saya lebih kuat berdiri dari ibu itu. Saya memepersilahkan ibu itu duduk dan saya menjalain sisa perjalanan dengan berdiri, toh biasanya juga berdiri, hehehe.
Dari situ, sang ibu(I) dan saya(S) mulai bercakap-cakap:
I : "Lho, sampean ngalah nak?, matur nuwun 'nak,(sambil tersenyum lebar)".
S : "Iya ibu, monggo, sudah biasa berdiri".
I : "Turun mana 'nak?"
S : "Stastiun Gubeng Bu, ibu turun mana?"
I : "Oo sama nak, ibu juga turun di Gubeng. Kerja 'nak?"
S : "Ndak Bu, kuliah".
I : "Oo kuliah, saya kira kerja, kuliah dimana 'nak? Di Unair? kok ndak naik sepeda motor saja?"
S(dalam hati) : "Apa saya sudah keliatan tua ya?"
S : "Ndak Bu, saya di ITS kok, ndak Bu, saya ndak ada kendaraan(senyum terpaksa, miris)"

I : "Ooo gitu ya 'nak, ambil jurusan apa disana? sudah semester berapa?"
S : "Iya Bu, ambil jurusan Teknik Informatika Bu, ini mau masuk semseter 5"
I : "Oo, ambil teknik ya, memang bagus tekniknya ITS, kalo anak saya dlu juga teknik, Elektro, di Unesa"

S : "Ooo gitu ya Bu, angkatan berapa Bu anak ibu yang di Unesa itu?"
I : "Sudah lulus kok 'nak sudah ngajar di SMP Khadijah"
S : "Ooo, alhamdulillah ya Bu"
I : "Iya 'nak, itu juga dia nyari nyari sendiri biayanya, entah dari beasiswa entah ngelesi, ya alhamdulillah sekarang sudah ngajar, kan banyak toh nak sarjana yang nganggur".

Mendengar jawaban itu saya hanya terdiam, bagaimana bisa keadaan itu mirip sekali dengan keadan saya. Itu membuat lidah ini kelu. Menyadarkan saya akan sesuatu. Sesaat kemudian saya menemukan kalimat yang tepat untuk menanggapi jawaban itu.
S : "Iya Bu, lulusan sama peluang kerjanya tidak sebanding, jadi harus pandai pandai mencari pengalaman dan peluang. Oiya, ibu ke Gubeng mau kemana?"
I : "Iya nak, maka dari itu alhamdulillah anak saya sudah dapat kerja. Itu, ibu mau jenguk adik sepupu di RS Karang Menjangan, mau dibawa ke Singapura dalam waktu dekat"
S : "Lho? sakit apa Bu? kok sampe harus ke luar negeri?"
I : "Itu nak, jantungnya bermasalah, kemarin setelah dioperasi jantungnya ndak bisa produksi sel darah, jadi seminggu dua kali harus ke RS ngisi darah baru"
S : "Sudah lama Bu?"
I : "Sudah 8 bulan nak, padahal setiap minggu harus 2 kali ke RS, padahal biayanya sekali masuk bisa jutaan. Ya itulah nak, kalo sudah sakit uang itu tidak ada gunanya"

Lagi, jawaban ibu ini membuat saya terdiam sejenak, menyadari betapa beruntungnya saya yang masih diberi organ yang normal.

S : "Iya Bu, sekarang medis mahal memang, kalo sudah 8 bulan bisa pastinya bukan orang sembarangan itu ya Bu? zaman sekarang kalo bukan rang kaya ya susah berobat seperti itu"
I : "Iya nak. sekarang mahal. Yaa dia dokter kok nak, jadi ya kaya memang 2 dari 3 anaknya juga dokter gigi, yang 1 masih sekolah SD kelas 6"
S : "Ooo gitu ya Bu, pantas saja bisa berobat seperti itu."
I : "Iya nak, makanya kita ini harusnya bersyukur maih sehat wal afiat seperti ini, bersyukur jadi orang tidak punya, kalo adik sepupu saya itu tidak banyak uang seperti itu belum tentu penyakitnya parah, paling batuk pilek saja"
S : "iya Bu, kalo orang biasa seperti saya ginin paling sakitnya ringan ringan. Semua memang ada hikmahnya ya Bu"
I : "Iya nak, meskipun kita orang biasa, bukan orang kaya harus tetap bersyukur nak. Sudah hampir sampai nak, ibu kedepan dulu ya"
S : "Iya Bu, monggo, hati hati Ibu"
I : "Iya nak, matur nuwun".



Tidak menyangka, pagi itu bisa merasakan obrolan bermakna dengan orang yang bahkan saya tidak tau namanya. Ya, banyak hal yang bisa diambil hikmahnya, betapa mahalnya sehat, betapa kurang bersyukurnya diri ini. Banyak orang yang lebih tidak beruntung daripada saya.
Syukur alhamdulillah, mendapat hikmah yang dangat bernilai di pertemuan singkat yang tidak disengaja itu. Semoga kita semua menjadi manusia yang lebih bersyukur.




2 comments:

princessbluesky said...

wow.. :O ngajar di SMP Khadijah.. itu kan sekolahku dulu.. :p hehe..

Rohmad Raharjo said...

Iya, saya lupa tanya namanya tp, kalo nggak salah ngajar matematika..
Eh, kok tau ada postingan baru? :P

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 printf("hello world"); and Powered by Blogger.